Beranda | Artikel
Meluruskan Berita Tentang Vaksin MR Jangan Berobat dengan Hal Najis
Kamis, 24 Agustus 2017

Cukup banyak yang bertanya kepada kami berita berikut:

http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/08/20/ouz2hu-vaksin-mr-belum-halal-mui-jangan-berobat-dengan-hal-najis
Judul awal oleh situs Republika cukup heboh yaitu:

“VAKSIN MR BELUM HALAL, JANGAN BEROBAT DENGAN HAL NAJIS” (judul awal sesuai dengan linknya)
Tapi setelah kita klik link tersebut, nampaknya Republika merubah judulnya menjadi:

“Vaksin MR Belum Halal, MUI: Segera Ajukan Sertikasi Halal” (Silahkan klik link untuk mengecek)
Akan tetapi yang menyebar lebih dahulu dengan cepat dan masif serta disebarkan oleh oknum antivaks yaitu judul yang ada kata “NAJIS” terlebih ada kata “MUI” 
Akan tetapi situs Republika cukup profesional dan kami salut akan hal ini, karena situs Republika juga menyebarkan berita yang isinya bersebrangan dengan berita sebelumnya yaitu “MUI menjawab antivaksin” dengan judul:

“Jawaban MUI untuk Dua Kelompok Antiimunisasi”
Kami nukilkan sebagian isi artikelnya:

“Sedangkan bagi kelompok kedua yang meragukan kehalalan vaksin, MUI telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 04 Tahun 2016. Dalam fatwa tersebut ada enam poin yang diharapkan bisa mencerahkan masyarakat yang ragu terhadap imunisasi karena faktor kehalalan vaksin.”
Berikut linknya:

http://m.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/17/07/20/otdovb328-jawaban-mui-untuk-dua-kelompok-antiimunisasi
Terkait dengan berita yang pertama yaitu dengan judul awal:

“VAKSIN MR BELUM HALAL, JANGAN BEROBAT DENGAN HAL NAJIS”
Tanggapan kami pribadi:
[1] Hendaknya jangan hanya membaca judul saja kemudian menyebarkan karena judulnya tidak tepat, seolah-olah vaksin MR mengandung najis padahal tidak,

Oleh karena itu judul artikelpun diubah oleh situs Republika sendiri
[2] Berita-berita tersebut bukan sikap resmi badan MUI, tapi pendapat perorangan pengurus MUI, sehingga kurang bijak jika beritanya ditulis “MUI: …..”
[3] Vaksin MR sama sekali tidak memakai unsur babi atau yang diharamkan
Bahkan dari sekian program wajib vaksi  pemerintah setahu kami hanya vaksin OPV saja yang memakai enzim babi sebagai katalisator (ingat enzim katalisator tidak ada dalam hasil akhir reaksi), jadi penggunaan enzim babi pada pada minoritas vaksin, sedikit sekali, tapi mengapa info yang menyebar “vaksin itu ya babi isinya”, tentu ini tidak benar dan perlu kita luruskan bersama
Dahulu sempat heboh karena vaksin meningitis haji pakai enzim babi, tetapi dengan perjuangan peneliti dan ilmuan akhirnya bisa ditemukan vaksin meningitis yang tidak pakai enzim babi sama sekali bahkan MUI sudah mengeluarkan SERTIFIKASI HALAL VAKSIN MENINGITIS
Silahkan baca tulisan kami halalnya vaksin haji:

Vaksinasi Haji Mubah dan bermanfaat


Tapi meskipun sudah dikeluarkan sertifikasi halal MUI untuk vaksin meningitis ternyata MASIH ADA saja oknum antivkasin yang mempermasalahkan
Vaksin MR baru ada fatwa MUI saja, belum ada sertifikasi halal MUI, akan tetapi kemenkes akan melakukan proses pengajuan sertifikasi hanya saja butuh proses, silahkan baca berita berikut ini:
https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/ov2nm0
[4] Mengenai tidak ada sertifikat halal MUI, silahkan baca tulisan kami:
# Tidak Ada Sertifikasi Halal MUI = Haram ?
-Patut kita syukuri bahwa di negeri kita ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meneliti dan memberikan fatwa mengenai halal-haramnya makanan atau obat dan kita berterima kasih kepada MUI
-Akan tetapi timbul mindset yang kurang tepat, yaitu mempertanyakan dalil halal atau fatwa halal untuk makanan atau obat terlebih dahulu. Harus ada fatwa MUI dahulu baru jadi halal.
-Yang benar adalah, dalam masalah duniawi baik berupa makanan, obat-obatan dan masalah muamalah hukum asalnya halal, dan untukmenjadi haram perlu bertanya dan meminta bukti haramnya.
Kaidah mengatakan:
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“Hukum asal dari sesuatu (muamalah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya“
-Jadi tidak ada sertifikat halal MUI belum tentu otomatis haram
-Fatwa MUI membantu kita untuk lebih yakin dan tenang untuk makanan tertentu
-Hanya saja sekali lagi perlu memperbaiki mindset, jika tidak ada fatwa halal maka otomatis haram (ini mindset yang kurang tepat)
Baca selengkapnya ا:

Tidak Ada Sertifikasi Halal MUI = Haram ?

[5] Jelas vaksin MR tidak mengandung unsur babi atau yang haram lainnya,

Maka yang mengatakan vaksin haram HARUS mendatangkan bukti jelas (bukan sekedar ragu-ragu atau katanya) untuk mengeluarkan dari hukum asalnya yaitu suci dan mubah
Bagi yang mengatakan ini syubhat, silahkan baca tulisan kami berikut:

Jawaban Bagi yang Berkata “Obat Dokter dan Vaksin Hukumnya Syubhat”


dan tulisan ini:

Antara Syubhat, Wara’ (Berhati-bati) dan Ghuluw (Berlebih-lebihan) pada Makanan


[6] Ada berita juga yang menyebar luas, agar vaksin MR dihentikan karena belum ada sertifikasi halal
Misalnya link ini:

https://www.google.co.id/amp/m.viva.co.id/amp/gaya-hidup/kesehatan-intim/948526-tak-ada-sertifikat-halal-menkes-diminta-hentikan-vaksin-mr
Tanggapan kami: jika ingin adil sekali, jangan hanya vaksin MR yang minta dihentikan, harusnya hampir SEMUA obat dan infus dll dihentikan karena tidak ada sertifikasi halal nya, konsekuensinya:
√Kalau operasi jangan pakai obat bius karena belum ada sertifikasi halal 

√Infus juga belum ada sertikasi halalnya

√Mau tambal gigi juga bahan penambal, bius dan alat lainnya juga belum ada sertifikasi halal

√Pengawet, pemanis makanan, kue dan snack juga belum ada sertifikasi halal karena sebagian ada yang diimpor dari negara non-muslim

√ Coba cek permen yang akan dikonsumsi, mungkin ada pengawet dan pemanis buatan, itu apakah sudah ada sertifikasi halal atau tidak?

√Alat, bahan dan reagen praktek kimia, fisika, laboratorium lainnya juga belum ada sertifikasi halalnya dan ada yang diimpor dari negara non-muslim juga
Maaf juga, kalau mau adil juga, ketika makan mie ayam di pinggir jalan:
-Ini ayamnya halal pak?

-Ada sertifikat halal?

-Ayamnya disembelih dengan syar’i benar pak?

-Oya bapak muslim kan? Karena sembelihan musyrik haram

-Oh ayamnya di beli di pemotongannya ya? Yakin pak di sana dipotong syar’i?

-Tukang sembelih lupa baca bismillah gak?

-Kalau sembelinya syar’i, yakin gak wadah dagingnya gak bekas wadah babi?

Beberapa saat kemudian:

-Oh jadi ayamnya, bapak sendiri yang sembelih dan dengan bismillah, oya pak ini kecap yang dipakai halal pak?

-Ini kecap kan sudah terkenal sekali, apa sudah ada serifikat halalnya?

-O iya, metcin dan penyedap rasa ini yang dipakai halal juga gak pak? Jangan-jangan produk impor
Beberapa saat kemudian:
-Nah, kerupuk ini halal gak pak? Jangan-jangan tepung dan minyak goreng serta bumbunya gak halal dan belum ada setifikat halal
Kalau sudah seperti ini, maka ini yang disebut “ghuluw yang menyebabkan takalluf (terlalu membebani).
Oleh karena itu, kemudahan dalam syariat yaitu hukum asal sesuatu adalah mubah dan halal sampai ada dalil tegas yang mengatakan itu haram
Perhatikan kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberi hadiah daging kambing oleh wanita Yahudi dan daging tersebut diberi racun.
Perhatikan yang memberi hadiah adalah wanita Yahudi. Memang sembelihan ahli kitab adalah halal. Tetapi jika telah NYATA dan ada bukti NYATA mereka:
1.Menyembelih dengan menyebut nama selain Allah, maka haram daging tersebut
2.Menyembelih dengan cara yang tidak syar’i, maka haram daging tersebut
Tetapi jika tidak ada bukti dan hanya prasangka saja, maka tidak bisa menghilangkan hukum asalnya yaitu halal. Apalagi kita ketahui bagaimana sifat Yahudi. Tetapi Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerima saja hadiah daging hadiah dari Yahudi dan daging tesebut dimakan oleh beliau.
Demikian semoga penjelasan ini bermanfaat
@Gemawang, Yogyakarta Tercinta
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/meluruskan-berita-tentang-vaksin-mr-jangan-berobat-dengan-hal-najis.html